"Lebaran di Kampung Halaman, Anak Rantau Ceritakan Nikmatnya Makan Bareng Keluarga"

 

  

  

Lebaran adalah moment yang sangat di nanti-nantikan oleh umat muslim. Karena pada hari lebaran kita bisa kumpul keluarga, mulai dari keluarga kecil hingga besar dan saling bermaaf-maafan satu sama lain. Lebaran, bagiku, bukan hanya tentang takbir, ketupat, atau baju baru. Ia adalah tentang pulang. Tentang menyambung kembali yang sempat terputus, menambal yang sempat robek, dan menatap wajah-wajah tua yang kian renta namun tetap hangat saat menyambutku pulang. Di moment ini lah orang-orang pada pulang kampung demi merayakan Idul Fitri bersama keluarga tercinta dikampung. Terutama mahasiswa rantauan, pasti akan pulang kampung sebelum lebaran dan tidak sabar bertemu dengan keluarga. Namun untuk sampai ke rumah, perlu menempuh perjalanan pulang yang cukup lama. Sama hal nya seperti yang di alami oleh Syifa yang berkuliah di Padang dan kampung Syifa di Duri, Riau. Perlu menempuh 12 jam perjalanan untuk sampai ke Duri, tetapi lebih lama lagi jika menjelang lebaran waktu nyampainya. Di perjalanan juga banyak yang berbondong-bondong ikutan mudik, terutama di Kelok 9 terjadi kemacetan.

Di tengah macet yang padat,  banyak anak kecil yang berjualan takjil keliling dan itu sangat menyentuh hati. “Di umur mereka yang seharusnya masih banyak waktu bermain dan belajar, mereka sudah membantu orang tuanya berjualan” ucap Syifa. Dari moment tersebut dapat terlihat, meskipun macet rasanya membosankan, tetapi bagi mereka itu kesempatan mencari pemasukan.

Sesampainya di rumah, akan ada banyak kegiatan yang dilakukan, terutama memasak makanan. Tradisi memasak makanan untuk hari Raya Idul Fitri ini juga banyak dilakukan, seperti memasak ketupat, masak rendang, dan membuat kue mentega lebaran selalu dilakukan tiap tahun. Apa lagi merasakan masakan rendang buatan bunda menjadi hal yang paling ditunggu bagi anak rantauan.  

Tidak hanya memasak saja yang banyak dilakukan oleh keluarga dirumah, tetapi bersih-bersih juga perlu di lakukan. Seperti lap kaca jendela rumah, ngepel, cuci karpet dan bahkan bingkai foto yang terpajang di dinding ruang tamu rumah perlu diturunkan untuk dibersihkan seluruhnya. Kelihatannya sangat melelahkan, dan ya sangat-sangatlah melelahkan. Namun di moment ini lah yang menjadi keseruan menyambut lebaran. Bersih-bersih yang dilakukan semua itu juga harus teliti dibersihkan, seakan-akan dinas kebersihan akan datang ke rumah untuk mengoreksi.

Ketika hari Raya Idul Fitri telah tiba, suara takbir terdengar dari Masjid dekat rumah. Pagi itu, suasana terasa berbeda dari hari-hari biasanya. Udara terasa lebih segar, langit tampak cerah tanpa mendung sedikit pun, dan gema takbir mengalun dari masjid serta mushola di berbagai sudut kampung. Hari itu adalah 1 Syawal—hari kemenangan yang dinanti-nantikan setelah satu bulan menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan. Di rumah saya, seluruh anggota keluarga telah bangun sejak dini hari. Bunda tampak sibuk di dapur, menyelesaikan hidangan khas Lebaran seperti Lontong ketupat, rendang, dan sudah ada kue mentega di dalam toples yang cantik. Sementara itu, ayah duduk di ruang tamu, mengenakan baju koko dan peci hitam, bersiap untuk pergi shola eid bersama ke Masjid. Kami sekeluarga berjalan kaki menuju lapangan terbuka tempat pelaksanaan salat Idulfitri. Sepanjang jalan, suasana penuh kehangatan. Warga saling menyapa dan mengucapkan selamat hari raya dengan senyum tulus. Anak-anak berlarian dengan pakaian baru, wajah mereka berseri-seri, menggambarkan kebahagiaan khas yang hanya muncul di hari istimewa seperti ini. Salat Ied berlangsung khidmat. Di bawah langit biru dan embusan angin pagi yang sejuk, kami bersujud dan berdoa, memohon ampun atas segala dosa dan berharap kembali menjadi pribadi yang lebih baik. Seusai salat, kami bersalaman dengan para tetangga dan kerabat yang hadir. Ada rasa haru yang sulit diungkapkan ketika tangan-tangan itu saling menggenggam erat, seakan menyampaikan bahwa di hari fitri ini, semua luka dan salah telah dimaafkan.

Setibanya kembali di rumah, kami melaksanakan tradisi sungkeman, yakni saling meminta maaf antaranggota keluarga. Ayah dan Bunda duduk di kursi ruang tamu, sementara kami, anak-anaknya, bergiliran mencium tangan dan memohon ampun atas segala khilaf yang telah kami lakukan. “Mohon maaf lahir dan batin, Ayah, Bunda” ucap Syifa dengan suara pelan, sambil menundukkan kepala. Bunda memeluk saya erat, dan ayah mengangguk sambil menepuk bahu saya. Tidak ada kata-kata panjang, namun dalam keheningan itu, saya merasa semua beban dan jarak yang mungkin sempat tercipta selama ini seolah luruh seketika. Usai sungkeman, kami berkumpul di meja makan. Hidangan Lebaran yang telah disiapkan sejak semalam kini tersaji lengkap. Kami menikmati makanan bersama sambil bercerita ringan, tertawa, dan mengenang masa kecil. Kebersamaan seperti ini menjadi sangat berharga, terlebih karena kesibukan masing-masing membuat momen kumpul keluarga besar hanya terjadi beberapa kali dalam setahun.

Menjelang siang, kami mulai berkunjung ke rumah-rumah tetangga dan sanak saudara di sekitar kampung. Tradisi silaturahmi ini adalah bagian penting dari perayaan Idulfitri, sebagai bentuk mempererat tali persaudaraan dan saling memaafkan. Setiap rumah yang kami datangi menyambut dengan hangat, menyuguhkan kue-kue khas Lebaran, sirup dingin, dan senyuman yang tulus. Sore hari, suasana mulai tenang. Langit perlahan berubah warna, menandakan hari akan segera berganti malam. Saya duduk di teras rumah, menatap halaman yang penuh anak-anak bermain petasan, dan mendengarkan takbir yang kembali terdengar dari kejauhan. Hari itu, saya kembali diingatkan akan makna sejati dari Idulfitri: bukan sekadar hari untuk berpesta, tetapi momentum untuk membersihkan hati, mempererat hubungan, serta mensyukuri segala nikmat yang telah Allah anugerahkan.

 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI MUARA TAKUS: JEJAK PERADABAN BUDDHA TERTUA DI SUMATRA

RAJA DIMSUM GOR PADA BULAN RAMADHAN