“MENYOAL SISTEM KKN DI UNP: REBUTAN LOKASI ATAU MINIMNYA PERSIAPAN?”
Sumber
Foto: Ganto Universitas Negeri Padang
Pelaksanaan
Kuliah Kerja Nyata (KKN) semestinya menjadi momen pengabdian mahasiswa kepada
masyarakat. Program ini merupakan bagian integral dari kurikulum pendidikan
tinggi di Indonesia yang menggabungkan aspek akademik, sosial, dan pengembangan
karakter. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Di
Universitas Negeri Padang (UNP), tahun 2025 kembali diwarnai dengan kisruh dan
kepanikan dalam proses pengambilan lokasi KKN. Mahasiswa harus berebut tempat,
beradu cepat dengan sistem, bahkan mengalami gangguan teknis saat pendaftaran
daring dibuka. Apakah ini mencerminkan sistem pendidikan tinggi yang humanis
dan terorganisir?
Masalah
ini bukan baru terjadi sekali atau dua kali. Hampir setiap tahun, mahasiswa
harus menanggung tekanan besar dalam proses yang semestinya bisa berlangsung
tertib, transparan, dan adil. Banyak dari mereka merasa diperlakukan seperti
peserta lelang, bukan peserta didik yang seharusnya dibimbing dan difasilitasi
secara layak. Ironisnya, kegiatan yang bertujuan membentuk karakter sosial dan
integritas mahasiswa justru dimulai dengan kekacauan sistemik yang mengabaikan
nilai-nilai itu sendiri.
Fakta
bahwa server pendaftaran KKN sering kali mengalami gangguan (down), lokasi-lokasi
favorit habis dalam hitungan detik, serta kurangnya transparansi dalam kuota
per daerah, menunjukkan betapa minimnya kesiapan manajemen. Kekecewaan
mahasiswa pun meluas, dengan banyak dari mereka menyuarakan kritik keras
melalui media sosial dan forum kampus. Namun, pertanyaannya: apakah suara
mereka benar-benar didengar oleh pihak kampus? Atau hanya dianggap sebagai
keluhan musiman yang akan reda dengan sendirinya?
Contoh
nyata terjadi pada hari pembukaan pendaftaran KKN. Berdasarkan informasi dari
akun resmi Instagram @kknunp_menyala, disebutkan bahwa pembukaan KKN akan
dilakukan pada pagi hari, dan tidak akan ada aktivitas “war KKN” pada dini
hari. Hal ini seolah menjadi angin segar bagi mahasiswa yang telah menyiapkan
diri dengan baik. Namun, kenyataan berkata lain. Pada pukul 03.00 dini hari,
sistem ternyata sudah bisa digunakan untuk pengambilan lokasi KKN. Akibatnya,
mahasiswa yang memegang informasi resmi merasa tertipu dan tertinggal. Dalam
hitungan menit, wilayah-wilayah yang dianggap strategis dan dekat pun ludes,
menyisakan hanya lokasi-lokasi seperti Mentawai, yang secara geografis dan
logistik lebih menantang.
Kekecewaan
pun memuncak. Mahasiswa merasa tidak adil, kecewa, bahkan marah, karena
informasi resmi yang seharusnya terpercaya justru menyesatkan. Bahkan ada yang
sampai datang langsung ke Rektorat untuk mengadukan ketidakadilan ini. Namun
lagi-lagi, tidak ada kepastian atau klarifikasi tegas dari pihak pengelola KKN,
seakan ini adalah bagian dari “risiko” yang harus diterima oleh mahasiswa.
Situasi
ini tidak berhenti sampai di sana. Penambahan kuota memang dilakukan untuk
beberapa lokasi KKN, tetapi mekanismenya tidak jelas. Tidak ada pengumuman
resmi kapan penambahan akan terjadi, dan tidak semua mahasiswa bisa memantau
portal UNP setiap waktu. Mahasiswa yang berhasil mendapatkan lokasi tambahan kerap
dianggap “beruntung” atau “rajin mantau,” bukan karena sistem yang memang adil.
Padahal, sistem pendaftaran seharusnya memberi peluang yang setara bagi semua,
bukan bergantung pada siapa yang paling kuat begadang atau siapa yang memiliki
koneksi internet tercepat.
Permasalahan
ini membuka mata kita bahwa ada kegagalan dalam merancang sistem distribusi KKN
yang adil dan efisien. KKN bukan sekadar formalitas akademik. Ia adalah pengalaman
hidup, interaksi nyata antara mahasiswa dan masyarakat, dan media pembelajaran
sosial yang sesungguhnya. Ketika proses awalnya saja sudah mengorbankan
keadilan dan kejelasan, maka misi sosial dan pendidikannya pun patut
dipertanyakan.
Solusinya
sebenarnya tidak terlalu rumit, namun butuh niat baik dan komitmen kuat dari
pihak kampus. Pertama, Transparansi Kuota Per Wilayah
Setiap wilayah seharusnya disertai informasi lengkap mengenai jumlah kuota yang
tersedia, kriteria pemilihan, dan kebijakan penambahan. Dengan begitu,
mahasiswa bisa membuat pilihan secara sadar dan terencana. Pertama, Sistem
teknologi informasi perlu diperkuat, agar tidak mudah mengalami down saat
digunakan serentak. Ini bukan masalah baru dan sudah seharusnya diantisipasi
dari tahun ke tahun. Kedua, Pengambilan lokasi KKN tidak seharusnya menjadi
“adu cepat klik.” Sebaliknya, sistem seleksi bisa mempertimbangkan minat,
relevansi program studi, serta kesiapan mahasiswa untuk mengabdi di wilayah
tertentu. Ketiga, Mahasiswa adalah pihak yang paling terdampak. Sudah
sepatutnya mereka dilibatkan dalam penyusunan kebijakan dan evaluasi sistem KKN
agar perbaikan bisa berjalan sesuai kebutuhan riil di lapangan.
Sebagai
institusi pendidikan tinggi terkemuka di Sumatera Barat, Universitas Negeri
Padang (UNP) memiliki tanggung jawab moral untuk membangun sistem pendidikan
yang adil, inklusif, dan manusiawi. Ketika mahasiswa masih harus berebut
seperti antre minyak demi tempat KKN, maka pertanyaannya bukan hanya soal
teknis, melainkan soal nilai-nilai yang ingin dijunjung oleh lembaga pendidikan
ini.
Apakah
mahasiswa hanya dianggap sebagai angka dalam sistem? Atau sebagai individu yang
perlu difasilitasi untuk tumbuh menjadi agen perubahan? Ketika pengambilan KKN
menjadi ajang rebutan dan kegelisahan, maka sudah waktunya kita bertanya: siapa
yang diuntungkan dari sistem ini, dan siapa yang seharusnya dilindungi?
Krisis
kepercayaan mahasiswa terhadap sistem bukan hanya soal teknis, tapi menyangkut
integritas lembaga pendidikan itu sendiri. Mahasiswa bukan objek eksperimen
sistem yang terus gagal, melainkan mitra dalam proses pendidikan yang harus
dihargai suaranya.
Jika
KKN dimulai dengan ketidakadilan, bagaimana mungkin kita berharap mahasiswa
akan menghayati nilai-nilai pengabdian di tengah masyarakat? Maka, perubahan
bukan hanya perlu, tetapi mendesak. Karena pengabdian sejati tidak lahir dari
kegaduhan, melainkan dari keadilan dan penghormatan pada proses.
Komentar
Posting Komentar